Senin, 15 Oktober 2012

ASAL MULA SAINS 

Manusia kuno tidak memiliki apa pun selain tangan dan otak untuk berjuang menghadapi masalah kehidupan dari hari ke hari. Tidak ada sesuatu yang berfungsi menyimpan pengalaman manusia sebelumnya yang bisa dijadikan pelajaran… . Sir George Dunbar Upaya penelitian ilmiah dan arkeologis untuk menggali lebih dalam mengenai sejarah masa lalu yang tak terhingga, dan peningkatan taraf pengetahuan, telah meningkatkan penghargaan dan apresiasi kita terhadap kemajuan yang telah diraih sains. Kita melihat manusia sampai pada konsep bahwa kesejahteraan manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk menaklukkan unsur-unsur lingkungannya yang senantiasa berubah, untuk melihat ke depan dan mengeksploitasinya sehingga menjadi keuntungan baginya di tengah-tengah dunia yang keras dan sangat kompetitif. Ia tidak melihat dunia ini sebagai entitas eksternal, melainkan entitas yang hidup dengan gairah dan kepribadian yang terdapat pada diri manusia itu sendiri dan manusia lainnya.
Demikian pula, perasaan dan pengalaman personalnya memiliki signifikansi yang besar. Segala sesuatu berpulang pada spirit pribadi individu. Dunia hanyalah manifestasi dari pikiran manusia. Tidak ada benda mati. Mimpi sama nyatanya dengan hujan badai. Semua fenomena memiliki keragaman makna intrinsik yang pada saat sekarang lazim kita asosiasikan dengan representasi simbolis dalam seni, seni patung, atau diksi puisi. Manusia tidak melihat dirinya berbeda dari alam. Pengalaman kehidupan modern kita dalam dunia magis hanyalah sebagai penonton jarak jauh, bukan partisipan sejati. Kita tidak bisa mengapresiasi seperti apa rasanya hidup dalam dunia yang dipandang melulu sebagai dunia magis. Meskipun catatan kita yang paling awal mengindikasikan bahwa manusia dengan perkembangan bahasa dan akal yang menjadi tempat penyimpanan informasi awal, manusia, seperti halnya hewan, juga dapat belajar dengan cara pengalaman. Secara bertahap, dengan memperhatikan keteraturan keseharian dan musiman, manusia mampu mengenali kemunculan sesuatu yang biasanya selalu menyertai sesuatu yang lain. Manusia bisa tahu bahwa berbagai peristiwa yang telah terjadi itu tidaklah terjadi dalam cara sendiri-sendiri dan sesukanya, tetapi terjadi dalam tingkatan tertentu yang bisa diprediksi sehingga bisa dieksploitasi untuk suatu kemanfaatan. Ia belajar untuk mensimulasikan hasil dari tindakan-tindakan yang akan dilakukannya dengan memikirkan perbuatan-perbuatannya itu. Jika hasil dari suatu perilaku itu dianggap akan merugikan, ia akan menghindarinya. Ia tidak lagi harus belajar semata-mata dari konsekuensi kesalahannya. Ia telah melewati fase mengalami dunia dan berpindah ke fase memikirkan dunia. Dari penemuan-penemuan antropologi kita telah belajar tentang praanggapan yang dianut oleh kebudayaan-kebudayaan primitif. Kita amati bahwa manusia senantiasa memiliki kebutuhan jasmani dan naluri, sebagian di antaranya juga dimiliki hewan, seperti naluri berketurunan atau naluri mempertahankan diri. Namun, ada naluri yang bersifat khas milik manusia, yaitu naluri beragama. Naluri inilah yang membuat manusia memuliakan dan menyembah sesuatu yang diyakininya memiliki kekuatan. Naluri ini membawa manusia pada kepercayaan terhadap keseimbangan alam, dan terhadap hukum sebab dan akibat. Kata-kata tersebut terdengar modern, tapi kemunculannya sebenarnya terjadi melalui praktik magis ketimbang eksperimen ilmiah. Awalnya hal itu menimbulkan keanehan tersendiri, jika magis adalah keyakinan yang paling penting maka seseorang harus percaya bahwa segala sesuatu dapat terjadi? Akan tetapi, itu tidak selamanya benar. Melakukan tarian hujan membuat hujan turun, memberikan persembahan kepada dewa-dewi kesuburan menghasilkan panen yang melimpah, dan memberikan jamuan kepada dewa perang menimbulkan kekalahan di pihak musuh. Melalui contoh-contoh formula sederhana itu terlihat keyakinan yang sesungguhnya–meskipun salah–terhadap gagasan dunia yang teratur dan terprediksi pada saat tindakan-tindakan tertentu selalu menciptakan akibat tertentu. Dalam kebudayaan yang penuh dengan mitos itu terdapat determinisme yang kuat. Tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa ada sebab dan alasan; segala sesuatu memiliki interpretasi. Oleh karena itu, konsep tentang peluang/kesempatan tidak pernah muncul. Konsep sebab dan akibat dalam alam semesta sebagai konsekuensi dari serangkaian hukum impersonal, adalah hal yang asing bagi kebudayaan-kebudayaan primitif. Di sana tidak ada pemisahan antara person dan subjektif dari benda-benda alam, seluruh peristiwa yang terjadi dianggap sebagai akibat dari tindakan sadar sesuatu atau seseorang. Konsep ini misalnya, dapat dilihat dalam penisbatan hasil konflik antara kekuatan kebajikan dan kejahatan. Kita memandang bahwa suatu peristiwa yang terjadi di dunia luar memiliki sebuah sebab dan sebuah akibat, sementara itu pemikiran primitif memandang bahwa segala sesuatunya saling berkaitan menjalin sebuah cerita. Bukannya menganalisis peristiwa-peristiwa dari yang global ke yang khusus, mereka merasa puas dengan melihat semuanya secara keseluruhan. Praktik berpikir seperti itu merupakan pelopor dari apa yang kini kita sebut sebagai berpikir abstrak: yaitu manipulasi tanda dan simbol dalam suatu cara yang logis-mandiri mengikuti kaidah hukum tertentu. Satu lagi perbedaan manusia dalam pendekatannya terhadap konsep sebab dan akibat di alam semesta ialah perhatiannya terhadap keistimewaan dan keanehan alam semesta, ketika kita mencari keberaturan. Bagi ahli meteorologi modern, pertanyaan yang relevan adalah ‘mengapa terjadi hujan?’, tapi bagi orang-orang primitif pertanyaannya adalah ‘mengapa terjadi hujan di sini dan mengapa sekarang?’. Itulah yang terjadi manakala peristiwa-peristiwa alam sekadar dialami, dan tidak dipelajari. Manusia adalah partisipan dalam alam semesta, bukan pengamat. Adalah orang-orang Yunani yang memperkenalkan ide tentang ‘teori’, sebuah konsep yang muncul dari praktik mengamati secara saksama, dan bukannya berkompetisi dalam permainan. Inilah ‘teater’ yang bertahan dalam makna yang sesungguhnya di era Inggris modern. Manusia adalah aktor dalam drama kosmis, dan seluruh dunia adalah panggung sandiwaranya. Pemikiran-pemikiran magis tidaklah mudah dihilangkan. Bagaimana Anda bisa menyalahkan gagasan upacara persembahan kepada dewa hujan ketika cara seperti itu ternyata memang mendatangkan hujan? Kalaupun hujan tidak turun, bisa jadi dianggapnya ada yang salah dengan ritualnya atau bahwa ritual yang mereka lakukan itu ditolak oleh kekuatan magis yang lebih dahsyat. Mengapa? Itulah yang dikatakan tukang sihir kepada Anda. Pandangan magis semacam itu membuat masyarakat terbagi menjadi dua bagian: lingkaran dalam berisi orang-orang yang berinisiatif terlibat dalam interpretasi dan teknik magis, dan orang lain yang berada di luar lingkaran itu. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kedua itu hanya bisa terheran-heran, kenapa orang-orang yang di lingkaran dalam itu melakukan aktivitas semacam itu. Sulit bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa ‘Kaisar tidak memiliki pakaian’, dan bahkan lebih sulit lagi untuk memiliki alasan untuk menginginkannya. Setiap suku tampaknya memiliki persamaan dalam jenis praanggapan yang tidak kita miliki, yaitu gagasan bahwa segala sesuatu yang telah mengalami kontak fisik satu sama lain pada satu waktu akan tetap menjalin hubungan yang kuat. Ini adalah pandangan yang wajar dimiliki oleh seseorang yang juga percaya terhadap dunia yang bergejolak dengan semangat perang. Jika Anda bertemu seseorang, tidakkah Anda akan memiliki kesan terhadap pertemuan itu? Kesan itu mempengaruhi pemikiran dan sikap Anda selanjutnya. Konsekuensinya, tidakkah wajar untuk percaya bahwa benda, atau bahkan orang, dapat dikendalikan dengan memanipulasi segala sesuatu yang menyerupainya atau yang sebelumnya telah terlibat kontak fisik dengannya? Benda-benda itu tidak dipandang sebagai simbol orang yang mereka temui, tapi justru benda itu adalah orang itu sendiri. Jika yang pertama dari gagasan itu berasal dari pengamatan hubungan kekerabatan dan kumpulan naluri di antara manusia dan hewan, maka mungkin saja sisanya tetap menjadi bahan perdebatan kita, seperti halnya perdebatan tentang kemampuan manusia yang diwariskan dan yang diperoleh. Keyakinan terhadap kemungkinan mengendalikan pihak lain dengan membangun citra mereka, yang biasanya menggunakan sehelai rambut atau bagian tubuh yang lain, masih dianut oleh beberapa wilayah di Karibia yang masih subur dengan praktik-praktik voodoo (ide inilah yang dimaksud dengan istilah ‘jinx’ atau ‘kutukan’; to put the jinx on someone, berarti membuat orang sial dengan cara-cara seperti ini). Ide ini menjadi inspirasi simulasi yang selama ini berhasil dipraktikkan oleh saintis modern. Sering kali seseorang membuat sebuah ‘model’ dari sebagian alam semesta, baik dalam bentuk mathematical squiggles (lekukan matematis) di atas sehelai kertas atau mengamati perilaku elektroniknya dalam sebuah komputer. Simulasi ini memungkinkan kita menarik suatu pemahaman dan mengendalikannya. Adalah signifikan bahwa keyakinan primitif memunculkan gagasan bahwa suatu bagian dari sesuatu mengandung esensi dari keseluruhan. Spekulasi-spekulasi itu menarik perhatian karena magis adalah salah satu pelopor sains eksperimental modern. Bahkan, pada abad delapan belas saintis sekaliber Newton pun masih memiliki gagasan magis aneh yang sangat asing bagi kita yang selama ini terbiasa dengan gagasan Newton dalam matematika dan fisika. Walaupun demikian, Newton melihat karyanya, baik dalam matematika atau optik, kimia atau kritik injil, sebagai bagian dari alam semesta yang satu. Kombinasi sains dan agama inilah yang mendorong Keynes untuk menulis: Newton bukanlah orang pertama di era akal (age of reason). Dia adalah generasi terakhir dari para ahli magis, terakhir dari Babilonia dan Sumeria, pemikir besar terakhir yang melihat dunia yang visioner dan berakal dengan mata yang sama yang mulai membangun warisan intelektual kita pada kurang dari 10.000 tahun yang lalu. Keynes. Sesuatu yang dianggap magis senantiasa berubah-ubah. Bagi orang Timur Tengah, kemajuan teknologi sains modern tidak ada bedanya dengan magis. Namun, salah jika kita berpikir bahwa magis adalah pelopor sains eksperimental modern. Praktik magis adalah bentuk eksperimen teknologi, tapi lahir dari keyakinan yang asing bagi sains modern–yaitu bahwa rangkaian alam semesta harus sedemikian rupa diubah untuk meraih kekuatan yang menguasai alam semesta dan orang lain. Praktik magis di era klasik secara implisit mengakui cara alami dunia mengatur dirinya sendiri dengan serangkaian ‘hukum alam’ karena ia selalu berupaya membalikkannya. Harus ada kekuatan jahat untuk melawan kebaikan. Ini terefleksi dalam fakta bahwa begitu banyak praktik ilmu gaib menekankan pembalikan tatanan alam–ingat ‘the black mass’ ketika mantra massa Katolik dibalikkan. Agar praktik-praktik yang tidak wajar itu berjalan efektif, mereka harus melakukannya dengan sikap mental yang tepat. Sains modern tidak berusaha mencari fenomena yang merespon kondisi pikiran pelaku eksperimen, ataupun berusaha mengakui kemungkinan memecahkan keteraturan benda-benda di alam. Ide semacam itu tidak masuk akal menurut kerangka berpikir sains modern. Susunan alam semesta tidak lebih dan tidak kurang adalah serangkaian peristiwa yang telah atau yang dapat terjadi. Sains berusaha sedapat mungkin menjelaskan fenomena melalui prinsip logika yang tunggal. Sains berupaya menghindari cara dunia magis yang membagi dunia menjadi fenomena sehari-hari yang ‘biasa’ yang diatur oleh serangkaian hukum dan terpisah dari yang ‘tidak biasa’, serta dunia gaib diatur oleh bentuk lain dari hukum dan logika: sesuatu yang diyakini dapat dipengaruhi dan dibuat oleh peningkatan kehendak manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar