Rabu, 31 Oktober 2012

PERKEMBANGAN TEHNOLOGI


Apa yang terjadi di setiap belahan dunia manapun hari ini sejenak kemudian menyebar luas ke seluruh dunia. Dunia menjadi sedemikian kecil terlipatnya oleh kemajuan teknologi Informasi dan Teknologi (IT). Situasi ini menjadikan dunia luas layaknya hanya sebuah kampung kecil (village), sehingga amat sering dunia hari ini disebut sebagai buana atau kampung global (global village). Lalu lintas komunikasi dan informasi berjalan sedemikian cepatnya. Tidak ada seorang pun yang bisa bersembunyi dari tatapan mata global  ini.
Inilah yang kini menyebabkan segala isu global menjadi milik semua bangsa, kelompok, tradisi, dan bahkan agama. Islam sebagai salah satu agama yang tak terhindarkan menjadi bagian dari global village itu juga terlibat intensif dengan isu-isu global itu. Wajarlah bila kini tantangan terbesar teologi Islam kontemporer ialah isu-isu global dan kemanusiaan universal, mulai dari pluralisme agama, feminisme, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan (ekologi), dan sebagainya. Hari ini, teologi apa pun, termasuk Islam, yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengaitkan diskursusnya dengan isu-isu global dan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris) akan lambat laun menjadi out of date.
Tetapi di sisi lain, muncul ketegangan-ketegangan diametral antarberbagai peradaban di dalam global village itu, baik dari sisi teologi, tradisi, hingga ideologi. Samuel P. Huntington, misalnya, membeberkan kecemasan global itu dalam The Clash of Civilizations: Paradigm of the Post-Cold War, yang pertama kali dipublikasikan dalam Journal Foreign Affairs, Edisi Musim Panas tahun 1993. Menurut Huntington, ada delapan besar peradaban (Barat, Confucian, Jepang, Islam, Hindu, Silvia-Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika) yang rentan terlibat dalam benturan itu, karena:
Pertama, perbedaan antara berbagai peradababan bukan hanya riil, tapi juga mendasar, mulai bahasa, tradisi, dan agama. Perbedaan-perbedaan mendasar itu menciptakan perbedaan-perbedaan besar dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan negara, hak dan kewajiban, kebebasan dan kekuasaan, dll.
Kedua, dunia sekarang semakin menyempit melalui derasnya interaksi antarperadaban, yang bukan hanya memicu kesadaran akan kesamaan-kesamaan mendasar tetapi juga perbedaan-perbedaan mendasar.
Ketiga, modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokalnya yang sudah mengakar dalam, dan sekaligus melemahkan negara-bangsa sebagai sumber identitasnya.
Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban yang dipicu oleh standar ganda Barat. Di  satu sisi, Barat berposisi sebagai kiblat peradaban maju, namun di sisi lain banyak kebijakan Barat yang tidak mencerminkan keadilan global. Situasi ini mendorong orang untuk menggali kembali tradisi identitas lokalnya, seperti lahirnya gerakan “Asianisasi” di Jepang dan “Reislamisasi” di Timur Tengah.
Kelima, karakteristik khas dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu sehingga kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan dalam bidang politik dan ekonomi.
Keenam, meningkatnya regionalisme ekonomi, yang memicu lahirnya blok-bolok ekonomi di berbagai wilayah global, yang pada gilirannya memicu kesadaran peradaban, yang di antaranya menjadikan kesamaan atau kedekatan budaya dan agama sebagai basis etik kerjasama ekonomi regionalnya.
Meski tesis Huntington ini banyak memperoleh kritik tajam dari para pemikir kontemporer, terutama terkait klasifikasi “garis batas” antar peradaban yang ambigu dan juga fakta percaturan manusia-manusia global yang berpangkal pada kepentingan ekonomi-politik-ideologi, bukan peradaban dalam arti bahasa, tradisi, dan agama, Huntington telah memicu kesadaran (lebih tepatnya kewaspadaan) global akan pentingnya upaya-upaya saling memahami dan mengerti antar berbagai peradaban dunia yang kini melebur dalam sebuah global village (understanding between me, you, and him) agar ketegangan akibat perbedaan-perbedaan itu tidak mengarah kepada clash. Upaya-upaya saling memahami ini, di satu sisi, diharapkan akan melahirkan sikap jumawa untuk melakukan dialog antar peradaban, bukan benturan antar peradaban, demi kemajuan dan kedamaian global village, dan di sisi lain diproyeksikan untuk menjadikan beragam tradisi lokal (termasuk agama) mampu terlibat aktif-konstruktif dalam kancah percaturan global itu.
Dalam konstalasi agama, peran dialogis ini sering diungkapkan sebagai teoantroposentrisme, yakni suatu upaya mengintegrasikan agama sebagai dogma dan ilmu dengan beragam ilmu, isu, dan realitas kehidupan global, dengan harapan nilai-nilai “ideal-moral” (dalam bahasa Fazlur Rahman) atau “ethico legal” (dalam bahasa Abdullah Saeed) agama mampu turut serta memberikan warna positif-spiritual yang tidak ekslusivistik, berbasis toleransi dan pluralisme, dan menjadikan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai sentral kajiannya.
Makalah ini berusaha untuk melihat tentang idealisme keterlibatan Islam sebagai sebuah agama dalam isu-isu global kontemporer, dengan menggunakan epistemologi Bayani-Burhani Muhammad ‘Abed al-Jabiri. Penulis sengaja tidak melibatkan epistemologi ‘irfani sebagai salah satu epistemologi (selain bayani dan burhani) dari tiga epistemologi Islam yang banyak dibahas al-Jabiri, dengan pertimbangan bahwa al-Jabiri menolak penggunaan ‘irfani di era kontenporer ini, dan memilih menggabungkan dua epistemologi lainnya (bayani dan burhani) sebagai metodologi utama studi Islam masa kini.
Pembahasan
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, lahir di Maroko1936, sebuah wilayah yang menjadikan bahasa Arab dan Prancis sebagai bahasa resminya. Wajar bila al-Jabiri intens dengan tradisi Arab (Islam) dan Prancis (Barat) sekaligus yang kaya akan metode analisis sejarah dan filsafat kritis. Sebuah capaian besar al-Jabiri yang sangat fenomenal ialah apa yang disebutnya sebagai Naqd ‘al-Aql al-‘Araby (Kritik Nalar Arab), yang berakumulasi pada kajian tiga tradisi epistemologi Islam, yakni epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani.
Sebelum membicarakan tiga kunci utama epistemologi al-Jabiri dalam Kritik Nalar Arab, ada baiknya kita memahami dulu pandangan al-Jabiri tentang tradisi Islam. Menurut al-Jabiri, tradisi Islam adalah segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek-aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, hingga tasawuf, yang kesemuanya itu bergolak-kelindan antara satu sama lainnya dalam hubungan saling mengisi, mengkritik, dan bahkan saling sikut menjegal. Karenanya, al-Jabiri memilih menggunakan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab, yakni: (1) strukturalis, kajian-kajian harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya, (2) analisis sejarah, dengan tujuan melihat segenap lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya, dan (3) kritik ideologi, untuk mengungkap peran ideologi yang berkembang yang mempengaruhi fungsi sosial-politik yang terkandung dalam pemikiran tertentu.
Inilah yang kemudian melandasi al-Jabiri membangun proyek Naqd ‘al-Aql al-‘Araby (Kritik Nalar Arab), bahwa untuk memahami tradisi Islam harus dilakukan dengan menelaah seluruh khazanah kearaban, secara strukturalis, sejarah, dan ideologis. Lalu al-Jabiri membangun tiga model epistemologi atas proyek ini, yang dikenal sebagai epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani.
Pertama, Epistemologi Bayani, yaitu sistem pengetahuan atau himpunan kaidah dan aturan untuk menafsirkan wacana/kandungan pemikiran dalam teks (nash), bagaimana mengorientasikan al-far’u (kasus khusus yang tidak ada dalam teks) kepada teks sebagai al-ashlu (induk/pokoknya). Bayani menjadikan teks sebagai sumber pengetahuannya, sumber rujukannya, dengan melibatkan nalar logika untuk mengambil kesimpulan makna tertentu, meski dalam operasinya posisi logika tidak diberi kebebasan penuh. Rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan tertentu kecuali bersandar pada teks. Sasaran utama dalam bayani adalah syari’at, fiqh, dan ushul fiqh. Qiyas atau silogisme merupakan metode paling populer dalam bidang ini.
Karena teks ditempatkan sebagai “sumber pengetahuan”, maka studi tentang bahasa menjadi fokus utama bayani. Studi tentang tradisi Arab tidak bisa dilepaskan dari studi bahasanya sebagai “sentral rujukan” yang melandasi lahirnya sistem pengetahuan atau ideologi apa pun di dalamnya. Karenanya, bahasa dinyatakan memiliki hubungan erat dengan pengetahuan, sehingga untuk mengetahui dasar-dasar lahirnya pengetahuan apa pun dalam dunia Arab-Islam, harus memasuki wilayah bahasanya.
Kedua, Epistemologi ‘Irfani, yaitu sistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah ruhani. Seseorang yang diyakini memiliki kesucian hati berkat olah ruhaninya bisa memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Kata ‘ifran memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat, yang dalam tasawuf diterjemahkan sebagai pengetahuan tertinggi yang ditanamkan oleh Tuhan secara langsung ke dalam hati seseorang melalui cara kasyf (mistik, gnosis, iluminasi).
Jika bayani menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berkarakter syari’at, ‘irfani menghasilkan pengetahuan-pengetahuan berkarakter hakikat. Karenanya, bayani dan ‘irfani sulit dipertemukan. Selain perbedaan karakter pengetahuannya, juga dikarenakan sistem metodologinya yang sangat jauh berbeda. Bayani menggunakan ilmu-ilmu rasional-obyektif (meski berada di bawah bayang-bayang teks), ‘irfani menggunakan iluminasi-subyektif yang tidak memerlukan obyektivikasi rasional.
Dalam meletakkan relasi teks dan pemahaman (tafsir), bayani berbeda secara mendasar dengan ‘irfani. Jika bayani bertolak dari teks (dzahir) untuk menemukan makna (batin), dari lafal menuju ma’na, yang penemuan atau pembangunan makna itu menggunakan nalar rasionalitas, maka ‘irfani sebaliknya, yakni bertolak dari makna (batin) dan teks (dzahir) sebagai bacaannya (tilawah). Pemahaman makna (batin) adalah takwilnya (pengetahuannya), sementara pembacaan teks (dzahir) adalah referensinya. Teks yang dzahir adalah cabangnya (furu’) dan makna yang batin adalah pokoknya (ashl).
Operasi metodologi ‘irfani ini menggunakan metode qiyas dan syatahat. Qiyas ‘irfani berbeda operasinya dengan qiyas bayani, di mana qiyas ‘irfani lebih sebagai upaya “melegitimasi” pengetahuan kasyf yang telah diperoleh kepada teks (nash), sehingga relasi posisi pengetahuan kasyf lebih tinggi dibanding teks, kasfy sebagai ushul (pokok) sedangkan teks sebagai furu’ (cabang). Karenanya, qiyas ‘irfani tidak memerlukan segala macam kaidah qiyas bayani, seperti ‘illat, karena berpedoman pada petunjuk ruhani (isyarah). Dalam bahasa lain, metode ‘irfani sepenuhnya merupakan penafsiran esoterik terhadap al-Qur’an. Dalam tradisi filsafat Barat, metode ini juga dikenal pada penganut aliran esoteris atau intuitif.
Sementara syatahat ialah pengetahuan yang diungkapkan semata-mata atas dasar kasfy tanpa mengikuti kaidah apa pun. Jika qiyas ‘irfani masih melibatkan nash sebagai pembacaan (tilawah), maka syatahat sepenuhnya merupakan pengetahuan bebas (untuk tidak dikatakan liar) atas dasar klaim pengetahuan mistik itu. Ungkapan “anal Haq” al-Hallaj dan “Maha Besar Aku” Abu Yazid al-Bushtami merupakan contoh nyata pengetahuan tersebut. Kalangan sufi sunni menolak model pengetahuan ‘irfani syatahat ini, karena menurut mereka isyarah tetap harus dikembalikan dulu kepada makna zahir teks (nash).
Ketiga, Epistemologi Burhani, yaitu sistem pengetahuan yang dibangun atas dasar kekuatan nalar dan demontrasinya, eksperimentasinya, atau empirisasinya. Secara istilahah, burhani disebut sebagai pengetahuan yang definitif dan jelas. Karenanya, ia membutuhkan keterlibatan intensif nalar di satu sisi dan empiris di sisi lain. Sederhananya, epistemologi ini bercorak rasionalisme dan empirisisme sekaligus, karena memang epistemologi ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Burhani mensyaratkan sebuah pengetahuan dinyatakan benar bila memiliki sifat benar secara logika dan atau mencapai derajat benar secara empirik. Peranan nalar dalam epistemologi ini untuk melihat realitas dan memproduksi pengetahuan atasnya dengan menyingkap sebab (idrak al-sabab). Tak pelak, realitas (al-waqi’) menjadi pokok rujukan produksi pengetahuan ini dengan cara menemukan hukum kausalitas di balik realitas tersebut: yakni menalar “esksistensi sesuatu” untuk menemukan sebab dan akibatnya. Proses menalar untuk menemukan sebab-akibat dari sebuah realitas inilah yang kemudian menerbitkan “pengetahuan baru” atas realitas itu.
Dalam pembandingan ketiga empistemologi ini, jika bayani menghasilkan pengetahuan lewat “analogi realitas non-fisik” atas “realitas fisik” atau furu’ (realitas) kepada ashl (teks), sementara ‘irfani menghasilkan pengetahuan lewat penyatuan diri dengan Tuhan secara kasyf (intuisi), maka burhani memperoleh pengetahuan lewat prinsip-prinsip logika (rasionalisme) atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya (empirisisme).
Demikian pula perbandingan dalam hal produksi pengetahuan, jika bayani menjadikan teks sebagai ushul-nya dan realitas sebagai furu’-nya, ‘irfani menjadikan kasfy sebagai ushul-nya dan teks sebagai furu’-nya, maka burhani menjadikan realitas (al-waqi’) sebagai ushul-nya, lalu dengan menggunakan nalar dan pembuktiannya (rasionalisme-empirisisme), diproduksi pengetahuan tertentu, yang bersumber dari penalaran dan pembuktian atas sebab-akibat realitas (al-waqi’) itu.
Lalu dimana posisi teks atau nash dalam epistemologi burhani ini?
Burhani cenderung meletakkan nash dalam posisi “spirit” (makna substansialnya) belaka, namun tidak berarti burhani menafikan makna teks. Posisi teks di hadapan burhani diletakkan sebagai spirit etik/religius yang melandasi practical life yang didasarkan pada pengetahuan burhani itu, pengetahuan yang telah dilahirkan melalui mekanisme nalar logis dan pembuktiannya. Maka maqashid al-syar’ie menjadi “ruh” dari pengetahuan burhani ini.
Tetapi penting untuk segera ditegaskan bahwa burhani sama sekali tidak berhasrat untuk mengukuhkan teks atau nash, seperti pada bayani. Burhani bekerja terus-menerus melakukan analisis terhadap realitas (al-waqi’) dan melahirkan kesimpulan atau pengetahuan baru darinya secara dialektis antara nalar dan empirisisme. Akal benar-benar memperoleh posisi tertinggi. Metode praktis yang dipakai dalam penggalian ilmu burhani ini ialah silogisme (qiyas al-jami’), induksi (al-istiqra’), dan inferensia (penyatuan hal-hal yang memicu munculnya sebuah realitas), dengan mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan. Dalam posisi terakhir ini (tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan), maqashid al-syar’ie menjadi nilai-etiknya bagi umat Islam.
Burhani dengan kata lain adalah muthabaqah baina al-aql wa al-waqi’ (sintesa antara nalar dan realitas empirisnya).
Dari tiga epistemologi nalar Arab itu, al-Jabiri melakukan kritik nalar Arab dengan cara menghasratkan sintesa antara bayani dan burhani, dalam posisi burhani melandasi bayani. Tujuannya jelas, bahwa bila cara kita menggali pengetahuan terhadap teks (nash) berhasil dilepaskan dari tujuan utama “mengukuhkan nash” (khas bayani), tetapi mengacu pada setiap realitas yang timbul dalam kehidupan aktual masyarakat Islam, dengan berpandu pada nalar dan pembuktiannya (khas burhani), maka pemikiran-pemikiran Islam kontemporer akan cakap dan terampil dalam mengkontekstualkan diri di hadapan realitas-realitas aktual. Sehingga Islam tidak akan ketinggalan dalam membaca, menggali, dan mengkonsepsikan isu-isu kontemporer.
Ini tidak berarti bahwa al-Jabiri adalah sekuleris, karena ia tetap kukuh mempertahankan bayani, yang itu berarti bahwa ia mengidealisasikan pengetahuan-pengetahuan baru atas isu-isu baru (burhani) tetap memiliki landasan spiritual pula (bayani). Akan tetapi memang al-Jabiri tidak berpoisisi untuk menjadi legitimator teks (bayani), yang terlihat dengan jelas betapa ia mendorong pemikiran-pemikiran Islam untuk berdialog dengan ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, teknologi, filsafat, dan seterusnya.
Al-Jabiri sepenuhnya menolak epistemologi ‘irfani, karena menurutnya, ‘irfani justru menggerogoti bayani dari dalam, yang terlihat dengan terang (misal) dalam hal metode qiyas dan syatahat-nya yang menegasikan kaidah-kaidah dasar bayani.
Dialog Peradaban dan Etika Global
Runyakan isu-isu global yang bersumber dari berbagai peradaban dunia menuntut semua entitas peradaban untuk mampu membangun “dialog” agar tidak terlecut clash. Upaya-upaya saling memahami dalam wadah dialog yang egaliter ini akan menghantar dunia ke dalam suasana kondusif humanistik.
Dalam idealisme ini, Islam sebagain bagian dari peradaban global hari ini dituntut untuk menjadi bagian dari laku dialog peradaban itu. Idealisme ini baru akan terkejawantah bila Islam mampu mengintegrasikan diri sebagai dogma di satu sisi dan ilmu di sisi lain, di hadapan beragam disiplin, isu, dan realitas global. Umat Islam dituntut untuk mampu menjadi pemikir yang tidak hanya intens dengan wacana-wacana teologis, tetapi sekaligus mampu menciptakan dialog interkonektif dengan wilayah-wilayah keilmuan yang lebih luas, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan, dan begitu seterusnya, merangkul secara integratif (padu) dan sekaligus interkonektif (saling-terkait) seluruh isu kehidupan manusia kontemporer-global.
Dalam semangat seperti itu, gagasan bayani-burhani al-Jabiri yang memadu-madankan antara “sakralitas teks” (bayani) di satu sisi dan “dinamika realitas” (burhani) di sisi lain, sangat krusial untuk dielaborasi. Membaca beragam realitas global dan kemudian mengkonsepsikan realitas global itu dalam kacamata teologis di satu sisi dan kacamata sosiologis-antropologis di sisi lain akan mampu menempatkan Islam menjiwai, meniupkan ruh, ke dalam persoalan-persoalan kontemporer itu. Dengan metode ini, umat Islam akan mampu menjadi bagian dari dinamika global tanpa kehilangan ruh keislamannya sekaligus. Islam menjadi napas peradaban yang hadir, jauh dari sifat ahistoris, tetapi pula tidak kehilangan landasan-landasan normatifnya.
Isu-isu ekologi, feminisme, ideologi, pasar, hubungan internasional, pengangguran, kebebasan beragama, globalisasi, dll., akan mampu diretas jawabannya oleh Islam yang berwajah ramah dan terbuka. Apa yang belakangan kita kenal sebagai penerjemahan baru terhadap “kafir”, misalnya, yang bukan lagi tentang murtad an sich, tetapi sekaligus segala perbuatan yang merusak kemanusiaan seperti korupsi, illegal loging, trafficking, dll., merupakan contoh up to date hasil penerjemahan kontemporer teks suci al-Qur’an di hadapan dinamika global ini.
Bayani di satu sisi akan menjadikan istinbath al-hukm Islam tidak lepas kendali dari landasan normatifnya, yang dipadukan dengan burhani di sisi lain yang melihat persoalan-persoalannya secara lebih kritis, rasional, obyektivistik, dengan bantuan beragam disiplin ilmu umum. Hasilnya, ijtihad baru ini akan lebih mampu melihat persoalan kemanusiaan secara komprehensif.
Dalam eskalasi yang lebih luas, Islam juga seyogyanya mampu tampil secara transformatif sebagai pejuang etika global. Istilah yang dipopulerkan oleh Hans Kung ini menghasratkan komitmen global untuk menjadikan etika bersama sebagai dasar dialog antar peradaban itu.
Hans Kung sangat berambisi untuk membawa dunia ini ke dalam kehidupan yang lebih adil, damai, aman, dan berperikemanusiaan. Di tengah pluralisme budaya, tradisi, dan agama, Hans Kung mengidealisasikan “etika global” sebagai solusi bersamanya. Sebuah sikap etik bersama yang sepenuhnya bertumpu pada penegakan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Secara filosofis, Hans Kung sangat galau dengan fakta dunia modern yang ternyata berwajah dua: di satu sisi menghantar dunia mencapai kemajuan pengetahuan rasional dan teknologi, namun di sisi lain menjerembabkan kemanusiaan ke lubang-lubang kehancuran. Modernitas yang berpangkal pada masa Renaissance di abad ke-16 dan mencapai puncaknya pada era Aufklarung di abad 18, telah menyulap wajah dunia ini maju sedemikian pesatnya. Namun pemujaan rasionalitas yang dislogani pekikan “aku berpikir maka aku ada” khas modernisme itu di sisi lain menafikan “dimensi batiniah” manusia. Akibatnya, segala yang non-rasional dikecampakkan (termasuk metafisika dan etika). Modernisme telah sempurna membunuh dimensi batin manusia akibat kepongahan rasionalismenya, di antara gemerlap materialisme dan teknokrasi yang begitu luar biasa meletupkan kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, dan negasi kesantunan. Kapitalisme merajalela tanpa batas. Dunia terseret ke dalam “kegelapan baru” yang bukan lagi dipicu oleh dominasi sakralisasi teologi berlebihan ala abad kegelapan Eropa, tetapi akibat peminggiran metafisika dan etika.
Dengan kata lain, ternyata modernisme yang diidealisasikan sebagai solusi kegelapan peradaban abad pertengahan kini kembali menghantar peradaban dunia ke dalam kegelapan baru. Dan ini disebabkan oleh penafian metafisika dan etika.
Karena itulah, Hans Kung merumuskan konsep etika globalnya atas dasar:
Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggungjawab secara etis.
Kedua, perubahan mainstream dari teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknokrasi yang melayani manusia.
Ketiga, perubahan mindset dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan.
Keempat, perubahan ideologis dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Empat poin utama etika global Hans Kung tersebut sepenuhnya menghasratkan kemajuan rasionalitas yang berjubahkan etika humanisme. Menjadi maju tapi tidak berlandaskan etika kemanusiaan, bagi Hans Kung adalah kesia-siaan. Pertanyaannya, apa kemudian landasan yang bisa mengikat setiap organ peradaban global untuk menjunjung etika global itu?
Hans Kung merujukkannya pada peran agama. Menurutnya, tidak ada kekuatan global lain yang bisa diterima kecuali agama, termasuk ideologi, ekonomi, dan politik. Hal ini karena setiap organ peradaban pasti memiliki kekhasan kulturalnya, yang tidak mungkin dipertemukan antar peradaban atas basis ideologi apa pun. Tetapi ini berbeda dengan agama, kendati agama pun memiliki kekhasan kulturalnya: bahwa setiap agama berpuncak pada keyakinan akan adanya Yang Absolut.
Karenanya, Hans Kung lalu menegaskan:
Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum. Nilai-nilai kemanusiaan yang melekat sebagai ajaran dasar setiap agama itu secara universal berorientasi sama, yakni memuliakan manusia.
Kedua, setiap agama memiliki kekuatan basis absolutivitas dan keharusan moral tanpa syarat, dimana pun, kapan pun, dan dalam hal apa pun. Transendensi setiap agama atas Yang Absolut (Tuhan) menghadirkan kesadaran universal untuk wajib menegakkan etika dasar kemanusiaan itu.
Ketiga, secara antropologis, semua manusia menyimpan keyakinan akan keberadaan Yang Absolut itu, baik yang dikejawantahkan dalam organized religion atau tidak. Relasi antara sisi antropologis yang khas dengan nilai universal keyakinan itu menghadirkan pemaknaan tunggal-universal berupa keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan, yang pada gilirannya mendorong setiap pemeluknya untuk menjalankan perintah Tuhan tersebut.
Sampai di sini, terang sekali bahwa etika global ini sepenuhnya menjadikan metafisika sebagai pondasi etika universal, dengan pemahaman dasar bahwa hanya keyakinan-keyakinan transendenlah yang mampu mengikat setiap manusia untuk menjamin penegakan etika bersama itu. Maka tentu saja, Islam harus turut terlibat aktif dalam percaturan etika global ini. Tanpa perlu mengutip banyak ayat dan hadits, kita semua telah mafhum bahwa Islam sangat menjunjung pemuliaan manusia (humanum). Sikap destruksi kemanusiaan sepenuhnya bukanlah ajaran Islam.
Inilah tantangan umat Islam di era kontemporer ini, untuk merespons positif setiap isu global dalam semangat dialog dan etika bersama itu. Menampilkan wajah Islam yang tekstualis, literalis, termasuk yang taklidis, hari ini sudah tidak relevan lagi dengan tugas global Islam. Sebab sikap-sikap berislam yang tekstualis, literalis, hanya akan mendorong umat Islam merasa benar sendiri (truth claim), yang tentu saja sangat tidak kontekstual dengan kebutuhan dialog global ini. Maka Islam harus bergeser dari pola lama tradisional-tekstualis-revivalis menuju Islam yang kontekstualis-globalis.
Kecemasan bahwa sikap berislam seperti itu akan menjadikan umat Islam tercerabut  dari akar teologisnya sesungguhnya hanyalah cermin kecemasan pudarnya kuasa rezim ideologis Islam. Justru jika Islam terus berdiam diri dalam rezim ideologi lama, hal itu akan menjadikan Islam ketinggalan kereta globalisasi, yang pada gilirannya hanya akan kembali memurukkan Islam dalam abad gelap pertengahan yang kental nuansa taklid dan mistik.
Respons al-Jabiri melalui epistemologi bayani-burhani bisa menjadi jawaban relevan terhadap kecemasan itu di satu sisi dan sekaligus kemampuan kontekstualisasi Islam di sisi lain. Inilah kebutuhan mendesak umat Islam hari ini: berislam yang tidak meninggalkan landasan teologisnya, namun selalu aktif melakukan penasfsiran kontekstual terhadap landasan teologis berdasarkan fenomena-fenomena global kontemporer.
Kendala terbesar umat Islam saat ini untuk melakukan peran tranformatif tersebut umumnya karena “beban tradisi”. Tradisi pemikiran lama Islam yang diwariskan sampai hari ini acapkali menjadi belenggu untuk melangkah bebas menuju corak Islam yang kontekstual, atas dasar transformasi Shifting Paradigm.
Tentu saja, berpegang pada tradisi bukanlah sebuah kesalahan, sebagaimana berpegang pada pemikiran baru juga bukanlah sebuah kesalahan. Tetapi kecenderungan bersikap absolutis terhadap tradisi di hadapan pemikiran-pemikiran baru yang didasarkan pada isu-isu kontemporer dalam teropong multidisiplin ilmu yang lebih kompleks (yang tidak hanya ilmu agama) adalah biang kerok kesulitan utama umat Islam untuk menampilkan Islam yang transformis, yang aktual-kontekstualis, yang menjunjung etika global lintas SARA.
Lalu, bagaimana idealnya membangun sintesa tradisi dan pemikiran baru itu agar Islam bisa menjadi agama yang aktif berperan dalam dialog peradaban dan etika global itu?
Imam Ghazali merupakan salah satu pemikir besar Islam yang mengkritik pendekatan fiqh sebagai jalan utama membangun keintiman muslim dengan Allah. Menurut Ghazali, teologi Islam tidaklah memadai untuk mengantarkan manusia menuju Tuhan, karena hanya kaum sufilah yang bisa melakukan hal itu.
Kritik Ghazali terhadap fiqh sebagai arus besar teologi Islam yang sangat dominan di eranya ini mencerminkan “pembaruan pendekatan” yang dianggap lebih memadai dibanding tradisi utama saat itu. Kata kunci “pembaruan pendekatan” inilah yang sangat penting untuk dielaborasi oleh setiap generasi Islam agar tidak terus terjebak dalam rezim tradisi lama yang  tidak lagi relevan dan kontekstual dengan kebutuhan zamannya, termasuk generasi kita hari ini. Ghazali melalui kritiknya melakukan gerakan shifting paradigm, pergeseran paradigma, dari dominasi tradisi fiqh menuju pemikiran tasawuf.
Dalam kaitan ini, menarik untuk menyimak peta filosofis “normal science” dan “revolutionary science” yang dicetuskan Thomas Kuhn, seorang ahli filsafat ilmu yang menentang keras dominasi pemikiran obyektivis-positivis. Menurut Kuhn, dalam setiap fase perkembangan ilmu pengetahuan, niscaya selalu terjadi dialog antara “normal science” dan “revolutionary science”. “Normal science” adalah ilmu pengetahuan yang telah berkembang sebagai mainstream, grand theory, diakui dan diikuti serta diajarkan sedemikian luasnya, sehingga cenderung dianggap fixed, tetap, final, dan tak berubah. Padahal, dalam perjalanannya, akan selalu ada sisi anomali-anomali di tubuh “normal science” (knowledge body) itu sendiri, yang timbul akibat dinamika perkembangan zaman. Anomali-anomali ini menyisakan keganjilan, kendala, dan masalah yang menyebabkan “normal science” tidak lagi memadai menjawab tantangan zaman. Dari anomali-anomali inilah kemudian lahir “revolutionary science”, yang bertugas untuk mengkritisi, mengubah, memperbaiki, dan bahkan menggantikan “normal science”.
Dalam perspektif filosofi tersebut, Ghazali tampil sebagai pengusung “revolutionary science” yang mendobrak dominasi rezim “normal science”. Seharusnya, relasi “normal science” dan “revolutionary science” ini berjalin secara dialektis, bukan dikotomis.
Demikian pula idealnya sikap umat Islam kontemporer dalam menempatkan diri di hadapan kehidupan global ini. Menghadirkan sikap kritis terhadap tradisi lama, untuk menimbang relevan-tidaknya untuk dijadikan pegangan hidup di hadapan realitas terkini, sambil tidak lupa merujuk langsung secara kritis kepada sumber-sumber primer Islam, dengan  menggunakan pendekatan-pendekatan multi-disiplin pengetahuan. Nilai-nilai ajaran yang digali dari sumber-sumber primer dan dikawinkan dengan telaah tradisi lama dalam kerangka isu-isu kontemporer tersebut akan mampu menjadikan Islam terus-menerus kontekstual, historis, dan sekaligus menjiwai perilaku umatnya.
Apa yang dilakukan Muhammad Syahrur hingga Abdullah Saeed (hanya untuk menyebut segelintir nama) sejatinya merupakan representasi gerakan berislam kritis-transformatif itu. Dengan metodologi ta’wil yang menggunakan pendekatan “teori batas” dan metodologi ijtihad dengan pendekatan linguistik-saintifik, Syahrur melahirkan penafsiran-penafsiran fresh yang kontekstual dengan dinamika dunia global hari ini. Begitu juga dengan Abdullah Saeed yang menggunakan metodologi “ijtihad kontekstual”, berhasil menelurkan berbagai pemikiran segar dalam hukum Islam, seperti riddah.
Semangat mewujudkan Islam tranformatif di hadapan isu-isu global kontemporer ini merupakan tujuan dasar yang dikandung metodologi bayani-burhani al-Jabiri. Membangun “jembatan emas” antara dinamisasi penafsiran teks suci di satu sisi (bayani) dengan berbagai realitas kehidupan manusia yang dikembangkan atas dasar investigasi integrasi beragam disiplin ilmu pengetahuan, di sisi lain (burhani). Kegagalan mengejawantahkan semangat transformatif tersebut dengan sendirinya akan menjadikan Islam tidak kontekstual, ahistoris, yang lazimnya diakibatkan oleh belenggu lumpur-lumpur truth claim dan taklid buta yang tidak produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar